
Roma 15:1-13
Di hari yang spesial ini, kita kembali merayakan ulang tahun negara kita, Indonesia. Semboyan yang selalu didengungkan sejak awal negara ini berdiri ialah Binneka Tunggal Ika. Semboyan ini memiliki makna yang begitu indah dan mencerminkan Indonesia yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan bahasa. Dengan begitu banyak keberagaman yang ada tetapi tetap satu bangsa yaitu Indonesia. Bukankah hal demikian merupakan sebuah harmoni yang indah? Seperti sebuah paduan suara yang terdiri dari suara sopran yang tinggi, alto yang lembut, tenor yang gagah, dan bas yang dalam. Masing-masing memiliki nada yang berbeda, bahkan warna suara yang begitu kontras. Namun, semua suara itu bersatu di bawah arahan seorang dirigen dan menjadi harmoni yang indah. Tidak ada satu pun suara yang berkata, “Semua harus seperti saya!” Justru perbedaan itulah yang membuat lagu menjadi hidup dan penuh warna.
Demikian pula kehidupan dalam masyarakat dan gereja. Adanya perbedaan justru seharusnya menjadi sebuah kekayaan yang patut untuk dirayakan. Ketika melihat konteks jemaat di Roma, di sana merupakan jemaat yang majemuk. Ada orang Yahudi yang berpegang pada tradisi Taurat, dan ada orang non-Yahudi (Yunani dan Romawi) dengan kebiasaan yang sama sekali berbeda. Perbedaan ini sering memicu gesekan. Paulus menulis kepada mereka dengan pesan yang tegas: “Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita” (ay.7). Kesatuan jemaat tidak dibangun dengan menyeragamkan semua orang, tetapi dengan saling menerima dalam kasih Kristus. Jemaat yang kuat menopang yang lemah, dan semua belajar mengutamakan kepentingan bersama.
Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa kesatuan bukan hanya keinginan manusia, melainkan rencana Allah yang kekal. Janji keselamatan telah diberikan kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang atau asal usul. Ia mengutip nubuat dari Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa suatu hari bangsa-bangsa akan bersama-sama memuji Allah (ay. 9-12). Kesatuan yang ada di tengah perbedaan adalah gambaran dari kerajaan Allah itu sendiri: beraneka wajah, bahasa, dan budaya, namun tetap bersatu hati memuliakan Dia.
Pada puncaknya, Rasul Paulus berdoa: “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu” (ay.13). Kesatuan yang sejati tidak lahir dari sekadar usaha manusia atau kesepakatan sosial, tetapi dari karya Roh Kudus yang telah mengisi hati kita dengan sukacita, damai, dan pengharapan. Tanpa itu semua, perbedaan akan sangat mudah menjadi alasan perpecahan setiap pihak. Jika memiliki itu semua, maka perbedaan justru dapat menjadi sebuah kekayaan yang dapat memperindah kehidupan bersama. Sebuah harmoni yang indah.
Dalam memperingati HUT ke-80 Kemerdekaan RI, kita diingatkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan di lambang negara, tetapi panggilan hidup. Indonesia merdeka karena rakyat dari berbagai suku, bahasa, dan agama bersatu untuk satu tujuan. Demikian juga kita, sebagai gereja dan sebagai rakyat Indonesia, dipanggil untuk memelihara persatuan di tengah keberagaman. Kita diajak untuk memandang perbedaan sebagai sebuah anugerah, bukan ancaman.
Seperti paduan suara yang memiliki berbagai nada, perbedaan justru memperindah kehidupan kita ketika diarahkan untuk memuliakan Allah. Marilah kita saling menghargai perbedaan latar belakang kita, membangun persahabatan lintas suku, agama, dan bahasa, serta menanamkan sikap saling menghargai perbedaan sejak dini bagi generasi penerus kita. Jadilah umat Allah yang hidup saling menerima, bersatu sesuai rencana Allah, dan bergantung kepada-Nya, Sang sumber sukacita, damai, dan pengharapan, demi kemuliaan-Nya dan juga kesejahteraan bangsa ini. Roh Kudus memampukan kita semua. Amin.
Dibuat oleh: Bp. Yoses Setiawan