
2 Timotius 3:1-4
Istilah self-love atau mencintai diri sendiri semakin populer di tengah budaya modern. Banyak motivator, media sosial, bahkan iklan produk kecantikan mendorong orang untuk mengutamakan dirinya sendiri. Di satu sisi, ada nilai positif: kita diajak menghargai diri, menjaga kesehatan, dan tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Namun, ada bahaya besar ketika self-love berubah menjadi alasan untuk memanjakan ego, menolak berkorban, dan hanya mementingkan diri sendiri. Firman Tuhan pun memperingatkan bahwa cinta diri yang salah dapat merusak relasi dengan sesama maupun dengan Allah.
Rasul Paulus mengingatkan Timotius, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar” (ay. 1). Ungkapan ini tidak hanya menunjuk pada akhir zaman, melainkan seluruh masa setelah Kristus datang pertama kali hingga kedatangan-Nya kembali. Masa ini disebut sukar karena manusia semakin dikuasai dosa dan hidup menjauh dari Allah. Paulus ingin agar Timotius, sebagai hamba Tuhan, tidak kaget dengan situasi moral yang makin memburuk.
Pada ayat 2a Paulus menegaskan, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.” Ini bukan cinta diri yang sehat, melainkan bentuk egoisme yang menaruh kepentingan pribadi di atas segalanya. Akibatnya, manusia mengejar materi dan kepuasan diri tanpa peduli dampaknya pada sesama. Lebih lanjut, dalam ayat 2b-4a, Paulus menyusun daftar panjang sifat buruk: sombong, durhaka, tidak tahu berterima kasih, tidak tahu mengasihi, tidak dapat mengendalikan diri, berkhianat, dan sebagainya. Benang merahnya jelas ketika manusia hanya sibuk mengasihi diri, ia kehilangan kemampuan untuk mengasihi orang lain. Dan, puncaknya di ayat 4b: manusia “lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah.” Inilah akar persoalan sebenarnya: kasih manusia terdistorsi. Bukan lagi kepada Allah yang menjadi sumber kasih, tetapi berbalik pada diri sendiri dan keinginan daging. Akibatnya, relasi dengan sesama pun menjadi hancur.
Bagi kita hari ini, pesan Paulus tetap relevan. Budaya populer sering menyalahartikan perintah Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39), seolah kita harus mencintai diri lebih dulu baru bisa mengasihi orang lain. Padahal maksudnya adalah kita sudah secara alami mengasihi diri, dan justru kita dipanggil untuk mengatasi keegoisan itu dengan mengasihi sesama. Cinta diri yang benar bukanlah menomorsatukan ego, melainkan menghormati diri sebagai ciptaan Tuhan sambil tetap menempatkan kasih kepada Tuhan dan sesama sebagai yang utama.
Karena itu, marilah kita mengasihi dengan cara yang benar. Kita menghargai tubuh dan jiwa sebagai anugerah Allah, tetapi tidak terjebak dalam egoisme atau kesombongan. Kasih kepada Allah harus menjadi dasar kita menjaga diri, sehingga dari kasih itu kita dimampukan untuk mengasihi sesama. Inilah jalan kasih yang sejati, bukan memanjakan diri, melainkan memberi diri, sebagaimana Kristus telah lebih dahulu mengasihi kita. Amin.
Dibuat oleh: Sdri. Paula C. Mulyatan