SIAPAKAH YANG DAPAT NAIK KE GUNUNG TUHAN
Mazmur 24:1-10
Apa itu “Liturgi” dalam ibadah? Mungkin banyak di antara kita yang berpendapat liturgi adalah tata cara ibadah, atau alur ibadah yang disusun supaya ibadah bisa berjalan dengan baik dan tertib. Hal tersebut tidaklah salah, tapi belum sepenuhnya tepat. Kita sepakat bahwa liturgi atau susunan ibadah bukanlah pertunjukan sekelompok pelayan Tuhan dengan karunia atau talenta musik, menyanyi dengan suara yang hebat, yang disaksikan oleh jemaat-jemaat yang hadir dalam ibadah Minggu. Melainkan, melalui liturgi, setiap tahapan dirancang sebagai dialog yang berbalas-balasan antara Tuhan dengan jemaat-Nya, melalui perantara pemimpin ibadah.
Dalam ibadah orang Israel, mereka sering kali menggunakan mazmur sebagai puji-pujian mereka. Sang pemimpin ibadah akan mengajak jemaat untuk masuk ke dalam hadirat Allah, yang sekarang kita maknai sebagai “Panggilan Beribadah” dan “Votum Salam” di liturgi Sinode Gereja Kristus. Sang pemimpin ibadah akan mengingatkan umat tentang siapa Allah yang mereka sembah hari itu. Ia adalah Allah Sang Pencipta dan Sang Pemilik alam semesta ini (ay. 1-2). Kepada Allah yang Maha besar ini, maka sang pemimpin ibadah akan mengundang respons dari jemaat yang hadir dalam ibadah, “Siapakah yang boleh naik ke gunung Tuhan? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?” (ay. 3).
Di sini sang pemimpin ibadah menyadari bahwa kedatangan umat ke rumah Tuhan bukan hanya rutinitas ibadah semata, melainkan keseluruhan hidup 24 jam 7 hari yang memuliakan Allah. Mereka yang boleh naik ke gunung Tuhan dan berdiri di tempat-Nya yang kudus adalah mereka yang bersih tangannya, murni hatinya, yang menjaga diri dari penipuan dan tidak bersumpah palsu, serta mereka yang selalu mencari wajah Tuhan di hidup mereka (ay. 4-6). Hal ini bisa kita maknai sebagai “Nas Pembimbing,” “Hukum Tuhan,” serta “Pengakuan Dosa” di liturgi Sinode Gereja Kristus. Pertanyaannya adalah siapakah di antara kita yang bisa memenuhi semua syarat dan ketentuan di atas? Tidak ada seorangpun yang bisa menghadap kekudusan Allah. Tidak ada. Kesadaran akan Pribadi Allah yang Maha kudus, membawa umat mengakui dengan kerendahan hati bahwa dirinya yang berdosa tidak layak masuk dalam hadirat Allah.
Syukur kepada Allah, Ia penuh rahmat dan belas kasihan. Pemazmur kembali mengajak umat untuk mengangkat kepala dan hati mereka untuk menyambut kedatangan Sang Raja Kemuliaan, yaitu Allah Penguasa alam semesta ini (ay. 7-10). Inilah momen “Berita Anugerah,” “Pujian Syukur,” dan “Petunjuk Hidup Baru” di liturgi Sinode Gereja Kristus. Allah yang baik itu tidak pernah menyerah menyatakan anugerah kepada umat-Nya yang sungguh-sungguh bertobat dan berkomitmen mengubah perilakunya. Terlebih lagi, Sang Raja Kemuliaan bersedia masuk dan hadir di tengah-tengah ibadah umat-Nya. Inilah keindahan ibadah orang Kristen, yaitu kehadiran Allah yang nyata dan terjamin melalui pengorbanan Kristus yang telah membuka jalan masuk untuk kita bersekutu dengan Allah Bapa. “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr. 10:22).
Jemaat kekasih Kristus, mari kita memaknai ulang ibadah yang setiap minggu kita lakukan, secara khusus bagian “menghadap Tuhan” dengan penuh kesungguhan. Mungkin kita meremehkan kehadiran kita di gereja hanya sebagai absen setiap minggu, padahal untuk bisa menghadap Tuhan saja ada darah yang harus tercurah di salib untuk menguduskan kita. Selain itu, mari kita menjaga hidup benar bukan cuma 1 jam di hari Minggu saja, melainkan hidup benar 24 jam 7 hari di rumah, di kantor, di manapun Tuhan tempatkan kita. Kiranya Roh Kudus menolong kita semua. Amin.
Dibuat oleh: Sdri. Paula Ch. Mulyatan